Selasa, 28 Oktober 2008

IKAN IKAN

IKAN IKAN

Asslamu’alaikum, kami ucapkan

kepada Ibu Bapak , hadirin sekalian

Kami bermain harap didengarkan

salah dan khilaf mohon dimaafkan.

Awal mulo kami critokan, pasalnyo kami kaum nelayan

Setiok ari mencari ikan, menyongsong arus badai dan topan

Belayar kami ke tengah lautan, sauh diangkat layar dikembangkan

setelah sampai ditengah lautan, sauh diturun layar digulungkan.

setelah itu pancing dihamburkan, ditangkap oleh seekor ikan

ikan membenak tiada tertahan, dapatlah kami seekor ikan.

Ikan apakah ini gerangan warnanya hitam berkilau-kilauan

ikan tengiri dibilang orang, pulanglah kami ketanah daratan.

Sampai disini cerita kami, cerita nyata sudahlah pasti

salah dan kilaf mohon dimaafi, dilain waktu berjumpa lagi (kiriman dari Buyung Jago).

Demikian syair lagu ikan-ikan yang hanya bisa kita dengarkan dan kita saksikan tiap setahun sekali - tepatnya pada event Festival Tabot yang dilaksanakan setiap tanggal 1 s/d 10 bulan Muharram.

Syair tersebut menggambarkan sebuah potret budaya kaum nelayan yang kesehariannya sangat dekat dengan ikan-ikan serta bergumul dengan lautan. Syair lagu ikan-ikan ini memang tidak diketahui siapa penulisnya– alias anonim. Artinya, lagu-ikan-ikan ini merupakan ciri khas produk kebudayaan rakyat – khususnya masyarakat nelayan yang sifatnya komunal. Produk budaya yang bersifat komunal pada umumnya memang tidak menonjolkan unsur personalitas, tetapi lebih mementingkan pada nilai kebersamaan. Karena memang produk budaya komunal ini menjadi bagian terpenting dari sebuah kearifan kultur lokal – local wisdom.

Sayang sekali, seni pertunjukan tradisional Ikan-ikan yang biasa digelar pada malam hari dengan cara berkeliling (door to door) pada tiap tahun menjelang malam Tabot ini sudah tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, ketika digelar pada acara lomba Ikan-ikan, pesertanya pun sudah mulai berkurang – alias menyusut.

Salah satu penyebabnya, adalah bahwa masyarakat pendukung - pemilik kebudayaan itu sendiri cenderung sudah mulai bergeser dan berpaling pada produk-produk kesenian lainnya yang dianggap lebih menarik. Memang ini juga akibat dari benturan budaya yang kian mengglobal. Dan diperparah lagi, dengan adanya paradigma pembangunan yang seringkali menyingkirkan produk-produk kearifan lokal yang dianggap sudah usang dan ketinggalan zaman.

Lalu apa yang musti dilakukan agar produk budaya lokal ini mampu bangkit kembali dan memberi kontribusi positif bagi pembangunan khususnya pembangunan budaya wisata di Bengkulu. Langkah pertama harus dimulai dengan sebuah kesadaran budaya sebagai pijakan untuk melakukan gerakan sadar budaya – gerakan peduli budaya lokal. Gerakan peduli budaya lokal (GeLiyaL) harus mampu melakukan revitalisasi terhadap produk-produk budaya lokal yang semakin terkikis oleh derapnya paradigma pembangunan yang cenderung materialistis – kapitalistis.

Sebagai bahan referensi, kita bisa belajar dari atraksi seni pertunjukan rakyat dari Sumatera Barat (Padang) yang disebut “Randai” . Masyarakat pendukung kebudayaan – kesenian Randai ini ternyata mampu melakukan revitalisasi. Alhasil, atraksi Randai tersebut menjadi tontonan menarik bagi wisatawan tiap malam minggunya di tepi pantai. Dan di sepanjang jalan pinggir pantai tersebut berderet warung yang menyajikan berbagai menu makanan.

Pertanyaan untuk pekerjaan rumah (PR) kita, mampukah seni pertunjukan rakyat yang disebut Ikan-Ikan ini digelar setiap malam minggu di sebuah tempat yang strategis seperti di Tapak Padri, Benteng Marlborough, Pasar Baru Koto, atau di perkampungan nelayan seperti di Kampung Cina, Pasar Pantai, Pasar Berkas, Pasar Baru, Pasar Malabero, Pondok Besi, Lempuing, dan lain-lain.

Lebih arif lagi, jika gerakan peduli budaya lokal dimulai dari masyarakatnya sendiri – khususnya masyarakat pendukung seni pertunjukan Ikan-Ikan – khususnya lagi kelompok-kelompok yang terlibat dalam produksi kesenian Ikan-Ikan ini melakukan gerakan berupa program kegiatan untuk menggelar atraksinya secara rutin pada setiap malam minggunya. Syukur-syukur, sambil menggelar atraksi, para nelayan juga bisa menjual berbagai produk ikan hasil tangkapannya dalam berbagai kemasan. Dan ini bisa berkembang menjadi areal wisata kuliner khusus ikan (bakar, panggang, pepes, gulai, dan lain-lain). kedepan. Tentunya diperlukan penataan –pengaturan - manajemen yang baik. Artinya, musti melibatkan pihak- pihak yang terkait dalam bingkai koordinasi - kerjasama yang sinerjis, seperti pihak Dinas pariwisata, Dinas Perdagangan, perindustrian, Dinas Tata Kota, Biro Travel Hotel (Arsita, PHRI), komunitas senimannya, kaum nelayannya, para pedagangnya, dan seterusnya. Jika program ini berjalan lancer dan berhasil, tentunya akan berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, bisa jadi muncul kebijakan Pemkot untuk menggantikan patung Kuda yang terpampang di simpang lima, dengan patung seekor ikan khas Bengkulu – sebut saja ikan Selengek ! Bukankah Ikan Selengek ini sudah identik dengan kota Bengkulu ?

wallahu ‘alam bishowab !

Tidak ada komentar: