Senin, 01 Desember 2008

RUMAH TUA BENGKULU : quo vadis

RUMAH TUA BENGKULU : quo vadis
Oleh : Agus Setiyanto (Sejarawan & Budayawan Bengkulu)
Tahun 1988, bersama kawan-kawan kampus pernah bikin sinetron ala BKKBN. Salah satu lokasi syutingnya di sebuah rumah tua yang terletak di jalan Jenderal S.Parman pinggir jalan (pojokan simpang menuju Kebun Beler). Sayang rumah kenangan tersebut, kini telah berubah menjadi pertokoan. Demikian juga dengan rumah tua yang terletak di jalan Jendral Sudirman (tepatnya sebelah eks Gedung Bioskop Segara), yang kini sudah menjadi sederet pertokoan – rumah tua yang terletak di jalan MT.Haryono, yang sekarang sudah menjadi tempat bisnis. Dan tentunya, masih banyak lagi yang bernasib serupa, termasuk rumah-rumah jenis panggung (Rumah Panggung) yang sudah sangat langka di kota Bengkulu.
Hal ini memang tak terelakkan, karena arus modernitasnya zaman – akibat gempuran arsitektur modern yang berimbas pada nasib arsitektur indis. Padahal bentuk bangunan rumah tua – rumah panggung – rumah tradisional yang bercorak indis ini selain sebagai wujud dari sebuah kearifan lokal (local wisdom), ternyata juga memiliki daya tahan terhadap bencana alam, seperti banjir dan gempa. Misalnya, Rumah Gadang model Bagonjong di Sumatera Barat, yang tetap berdiri tegak dan selamat dari serbuan gempa hingga ratusan kali.
Dan yang tak kalah pentingnya, adalah sebagai sumber aset daya tarik wisata budaya. Hampir sebagian besar pemerintah daerah/kota cukup serius untuk mendukung – membackup pelestarian rumah tradisional – rumah panggung. Lampung misalnya, Pemda Lampung Barat bekerja sama dengan Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) telah membantu memugar dan memelihara rumah panggung gaya limas milik Asnawi (79 tahun). Di Bali sudah banyak gerakan pelestarian terhadap rumah-rumah panggung, terutama di didaerah Loloan. Ternyata di Loloan ini terdapat dua tipe- model rumah panggung, yaitu model Bugis, dan model Sumatera (Palembang dan Riau). Apalagi wilayah- daerah yang memiliki sumber daya budaya sebagai kota kuno – kota lama, seperti Kalimantan - Sulawesi - Riau – Sumatera Barat – Sumsel (Palembang dan sekitarnya) - DKI - Jawa Barat – Jawa Tengah (Solo – Semarang), DIY (Yogya), dan lain sebagainya. Bahkan di Yogya, Walikota Yogyakarta telah mengeluarkan SK (Surat Keputusan) nomor: 557/Kep/2007 Tentang Rencana Aksi Daerah untuk Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya kota Yogyakarta Tahun 2007-2011. Dan menariknya lagi, pemerintah kota Yogyakarta melalui Dinas Pariwisatanya dalam upaya pelestarian rumah-rumah kuno telah memberikan insentif kepada para pemiliknya.
Lalu bagaimana dengan Bengkulu ? masih adakah kearifan lokal – kesadaran bersama masyarakat dan pemerintah daerah setempat untuk melestarikan warisan nilai sejarah dan budaya daerah – khususnya rumah-rumah tua/kuno – rumah-rumah tradisional ? Bil khusus rumah-rumah panggung sebelum bahan dasar utamanya seperti kayu dibabat habis oleh system illegal loging.
Untuk sementara ini, kita masih bersyukurlah, ditengah derasnya arus gelombang arsitektur modern menghimpit arsitektur indis, ternyata masih ada juga yang mampu bertahan - dipertahankan oleh si pemiliknya. Tentunya dengan berbagai sebab dan alasan mengapa bangunan tua tersebut bisa bertahan. Ada sebagian yang dibiarkan begitu saja karena faktor ekonomi – biaya. Sebagian lagi ada yang dimanfaatkan untuk sarang burung Walet, karena faktor ekonomi juga – bisnis. Ada juga yang dimodifikasi dengan gaya arsitektur modern, baik untuk dipakai / dihuni sendiri maupun untuk kepentingan usaha- bisnis. Bisa jadi, dengan pertimbangan bangunan – rumah tua tersebut tidak memungkinkan lagi untuk dipertahankan sebagaimana adanya. Dan yang lebih menarik lagi, adanya kecenderungan dari sebagian kecil anggota masyarakat yang mampu membangun rumah bergaya panggung. - rumah panggung. Setidaknya, yang bisa kita amati adalah rumah panggung yang terletak di pinggir jalan Tebeng (dekat AMIK Dehasen), dan juga rumah panggung milik pengusaha muda PT.Sanindo Tourism Service yang terletak di dalam kota Bengkulu. Semoga saja, pembangunan rumah panggung tersebut tidak sekedar mengangkat - beautification - isu keindahan – serta mengejar nilai prestisenya – tetapi semata kesadaran akan sebuah nilai kearifan local – came back to indigenous cultural.
Ada baiknya – saran, agar Pemerintah Daerah /Kota Bengkulu tentunya bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyatnya, serta komponen lainnya (LSM) melakukan langkah kebijakan strategis untuk melindungi – melestarikan rumah-rumah kuno – tua – rumah panggung sebagai aset sejarah, budaya – dan wisata. Bukankah ini entitas dari identitas dan jatidiri kebudayaan masyarakat kita ! Tidak ada salahnya, jika pemerintah daerah setempat melalui dinas pariwisatanya dapat memberikan reward – insentif – atau kemudahan –kemudahan dalam bentuk lainnya bagi para pemilik rumah tua – rumah panggung agar terjaga kelestariannya. Tentunya, konsep pelestariannya tidak dalam konteks bangunannya an-sich, tetapi juga aspek lingkungan sosio-kulturalnya. SALAM !.