Selasa, 28 Oktober 2008

BENGKULEN AWARDS 2009

Bengkulen Awards 2009
By. Agus Setiyanto
Bengkulen Award 2008 yang digelar oleh Taman Budaya Bengkulu pada tanggal 1 Maret 2008 yang lalu, telah meninggalkan beberapa catatan penting. Beberapa catatan penting dan menarik antara lain : (1). bahwa Bengkulen Award tidak sekedar event pemberian penghargaan kepada seniman daerah berprestasi, tetapi sekaligus sebagai ajang festival – promosi kesenian daerah – karena menampilkan atraksi kesenian yang mewakili dari masing-masing daerah -kabupaten ; (2). bahwa Bengkulen Award mampu menciptakan hubungan – kontak dialogis antar seniman dalam bingkai keragaman kesenian daerah; (2). bahwa Bengkulen Award mampu menciptakan suasana keharmonisan antar pelaku seni (seniman) dengan petingginya – bahkan Bupati dan Wakil Bupati Kepahiang pun hadir dalam event kesenian tersebut; (3). bahwa Bengkulen Award mempunyai peran strategis sebagai penguatan jatidiri-identitas kebudayaan daerah ditengah terpaan budaya global yang semakin dahsyat; (4) bahwa Bengkulen award cukup strategis sebagai upaya peningkatan daya tarik wisatawan – yang ingin menikmati atraksi seni budaya daerah Bengkulu; (5) Dan yang tak kalah pentingnya, bahwa Bengkulen Award 2008 mampu memposisikan diri sebagai sebuah kearifan lokal (local wisdom) – karena tanpa dukungan dana APBD ternyata mampu menggerakkan kesadaran kebudayaan masyarakatnya. Dengan kata lain, bahwa gerakan tersebut merupakan kesadaran bersama antara para petinggi di tingkat kabupaten dengan masyarakat seniman di daerahnya.
Jika saja event dengan label “Bengkulen Award” ini dapat diselenggarakan secara rutin – berkesinambungan setiap tahunnya, maka sangat berpeluang untuk dijadikan sebagai ikon budaya – masuk destinasi pariwisata unggulan - serta menambah satu kredit point disamping ikon budaya Tabot yang sudah membumi. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk membuka ruang kerjasama – sponsorship dengan pihak ketiga – sebut saja misalnya dengan pihak pemerintah Inggris melalui kedutaan besarnya, karena dalam catatan sejarah, bukankah nama Bengkulen adalah nama yang pertama kali disebut oleh bangsa Inggris ketika datang ke Bengkulu.
Disamping itu, event Bengkulen Award juga dapat diselenggarakan secara bergiliran di daerah kabupaten. Tentu saja ini harus melalui garis koordinasi yang jelas. Bisa saja pihak Dinas Pariwisata Propinsi melakukan rakor (rapat koorddinasi) dengan dinas Pariwisata tingkat kabupaten/kota untuk membahas event ini.
Bisa jadi Bengkulen Awards 2009 diselenggarakan di Kabupaten Lebong dibarengkan dengan agenda budaya Kedurei Agungnya – atau di Kepahiang dibarengkan dengan agenda Festival Melayu Serumpunnya – bisa di Rejang Lebong dengan bungkus agenda festival Seni Budaya Rejang Lebong – Bahkan bisa jadi di Seluma dengan event Festival Rejungnya. Atau digabungkan dengan Festival Nandai di Bengkulu Selatan.
Dan jika nanti Taman Budaya Bengkulu bergabung dengan Dinas Pariwisata Propinsi Bengkulu, diharapkan event Bengkulen Awards 2009 ini dapat diselenggarakan dan dipayungi langsung oleh Dinas Pariwisata Propinsi Bengkulu. Tentunya, Bengkulen Award 2009 akan semakin meriah dan semakin luas gaungnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan kedepannya, bisda dikembangkan menjadi event tingkat Sumatera – sebut saja “Sumatera Awards.”
Bengkulen Award 2009 nanti diharapkan tidak hanya mampu memberikan penghargaan kepada para seniman –budayawan daerah saja, tetapi juga para tokoh masyarakat di berbagai bidang, misalnya agamawan, cendikiawan, politikus, negarawan, usahawan, dan sejenisnya baik yang ada di Bengkulu maupun yang berada di luar Bengkulu – yang dianggap telah memberikan kontribusi bagi pembangunan di Propinsi Bengkulu – dan tentunya yang telah mengharumkan nama Bengkulu. Dan mungkin nanti namanya menjadi Bengkulen Awards 2009, karena banyak penghargaannya. Bengkulen Award 2008, kemarin juga sudah mencoba memberikan penghargaan kepada Hudan Hidayat, seorang cerpenis tingkat nasional yang karya-karyanya sudah bertebaran diberbagai media. Pemberian penghargaan Bengkulen Award ternyata juga mampu menggugah kesadaran untuk merasa lebih memiliki Bengkulu – SEKIAN !

TABOT WISATA

TABOT WISATA
(Agus Setiyanto)

Berbicara tentang tourist art (seni wisata), khususnya di Indonesia, Bali dan Yogya merupakan contoh yang paling menarik, karena sudah kondang sebagai gateway (pintu gerbang) nya arus wisatawan baik domestik maupun manca. Yogya punya maskot seni sendratari Ramayana Prambanan, dan Bali punya maskot Tari Cak (Kecak) dan Tari Barong. Ketiga maskot tersebut, semula adalah seni pertunjukan tradisional yang sifatnya total ritual. Tetapi, dalam perkembangannya, untuk menarik wisatawan, kemudian dikemas menjadi paket seni wisata (tourist art). Umumnya, alasan utama yang dipakai untuk membuat packaged (kemasan) seni wisata tersebut, dikaitkan dengan kebutuhan selera wisatawannya. Biasanya, kunjungan wisatawan ke suatu tempat wisata, ingin menikmati sebanyak-banyaknya sesuatu yang unik, menarik dalam waktu yang relatif singkat, dan murah (Kayam, 1981:179). Oleh sebab itu, diperlukan sebuah kemasan seni wisata yang mini, singkat, padat, dan penuh variatif. Bahkan Wayang Kulit di Jawa (Yogya) yang seharusnya dipentaskan semalam suntuk, kemudian dikemas secara padat menjadi dua jam, bahkan di Jawa Barat, wayang golek mampu disajikan dalam durasi 15 menit. Demikian juga dengan tari Cak dan tari Barong di Bali yang semula hanya dipertunjukkan pada waktu-waktu tertentu, kini bisa dinikmati setiap hari oleh wisatawan. Dan bentuk penyajian seninya tidak harus berupa karya cita baru, melainkan hasil reproduksi yang sudah ada (Soedarsono, 1986:5). Dengan disiapkannya paket seni wisata tersebut, maka wisatawan dapat menikmati kapan saja, tanpa harus kehilangan waktu untuk menunggu terlalu lama.
Nah, bagaimana dengan budaya Tabot Bengkulu ? Sudah siapkah seni pertunjukan Tabot Bengkulu dikemas menjadi Tabot tourist art ? Barangkali sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mungkin harus dijawab dulu pertanyaan yang satu ini, yaitu: sudah seberapa deras arus wisatawan yang masuk ke Bengkulu hingga sekarang ini ? Kalau memang Bengkulu sudah masuk dalam kategorisasi sebagai gateway-nya arus wisatawan, maka kebijakan untuk mengemas tourist art perlu segera dipertimbangkan. Sebab, tourist art ini merupakan alternatif yang tepat untuk memenuhi kebutuhan selera wisatawan.
Di samping itu, juga sangat diperlukan adanya kerjasama yang kompak di antara pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan wisatawan, seperti pihak Dinas Pariwisata, pihak biro travel (ASITA), dan Hotel (PHRI), serta para senimannya. Dengan kata lain, harus ada sharing (pembagian keuntungan) yang didapat dari pihak wisatawan, seperti pihak biro travelnya yang memperleh keuntungan secara langsung melalui usahanya di bidang transportasi.
Pihak Dinas Pariwisata pun harus membina kerjasama dengan para seniman maupun budayawan dalam rangka memberdayakan obyek-obyek wisata yang dipasarkan agar mampu meningkatkan daya tarik bagi wisatawan.
Sebab, pariwisata itu merupakan sebuah industri, sedangkan produknya adalah seni budaya. Satu hal yang perlu dicermati adalah mengenai kebutuhan selera wisatawan yang relatif banyak. Kebutuhan menikmati pemandangan alam yang indah, melihat Museum, melihat bekas-bekas peninggalan sejarah, ingin bersantai dan berjemur di pantai yang nyaman, ingin menikmati seni pertunjukan rakyat, ingin membeli souvenir yang khas di art show (warung seni), ingin mendapatkan buku-buku literatur tentang cerita, sejarah dan budaya daerah setempat, menikmati makanan khas (wisata kuliner), dan lain-lain. Semuanya itu butuh perhatian dan penggarapan yang serius, agar wisatawan yang sudah berkunjung merasa puas dan memiliki kenangan yang mendalam.
Dan kenangan yang telah menjadi bagian dari slogan Bengkulu sebagai kota Semarak – kota Wisata itu, tidak sekedar terucap di bibir atau tercetak di kertas saja, tetapi benar-benar terpendam di lubuk hati khususnya para wisatawan..…SEKIAN!

PANGGUNG SANDIWARA BUNG KARNO



PANGGUNG SANDIWARA BUNG KARNO
(SEMASA PENGASINGANNYA DI BENGKULU 1938-1942)
Naskah sebagai peninggalan produk masa lampau seringkali mengandung berbagai informasi tentang aspek kehidupan masyarakat lampaunya baik aspek ekonomi, politk, maupun sosial budaya (Siti Chamamah Soeratno, 1997:10). Demikian juga dengan kumpulan naskah sandiwara toneel karya Bung Karno.
kumpulan naskah sandiwara karya Bung Karno ini berbentuk dialog – dan kadang-kadang pada bagian-bagian tertentu diperlukan monolog. Oleh karenanya naskah tersebut dapat dimasukkan dalam kategori teks drama. Dialog bergantian (giliran bicara), sekali-kali monolog, merupakan teks-teks yang disiapkan kepada para aktornya – tak seorangpun ada berperan sebagai juru cerita (dalang) yang berhubungan langsung dengan penonton (Jan Van Luxemburg dkk, 1986:160).
Jumlah naskah yang pernah ditulis oleh Bung Karno semasa pengasingannya di Ende (1934 – 1938) tercatat sebanyak dua belas judul (Cindy Adams, 1966:175 ; Lambert Giebels, 1999:200). Keduabelas judul tersebut, yang tercatat antara lain : Dr. Sjaitan; Ero Dinamik; Rahasia Kelimoetoe; Tahoen 1945; Don Louis Pereira; Koetkoetbi; Toberro, dan Kummi Torro ? -. Menurut cerita Pak Burhan Wahid, naskah Bung Karno yang diberi judul Toberro itu merupakan kepanjangan dari Tokyo – Berlin – dan Roma. Sayang, tak banyak data tentang naskah tersebut yang bisa diungkapkan.
Kemudian, semasa pengasingannya di Bengkulu (1938 – 1942), Bung Karno juga menulis beberapa naskah, antara lain : Rainbow (Poetri Kentjana Boelan); Hantoe Goenoeng Boengkoek; Si Ketjil (Klein’duimpje); dan Chungking Djakarta.
Sayangnya, dari sekian banyak naskah tersebut, yang sampai pada penulis, hanya ada empat buah naskah, yaitu : Dr. Sjaitan ; Chungking Djakarta; Koetkoetbi; dan Rainbow (Poteri Kentjana Boelan). Bahkan teks naskah Dr. Sjaitan sudah tidak lengkap – hanya ada dua bedrijf (babak) saja – semestinya, lengkapnya terdiri atas enam babak (Lambert Giebels, 1999: 201).
Namun demikian, melalui beberapa narasumber yang pernah diceriterakan kepada penulis, kandungan ceritera beberapa naskah seperti Hantoe Goenoeng Boengkoek, Dr. Sjaitan, maupun Si Ketjil (Klein’duimpje) masih dapat direkonstruksi.
Pesan Moral Bung Karno
Apa yang ditulis oleh Bung Karno adalah buah pikirannya. Dan buah pikirannya sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupannya, serta semangat jiwa zamannya. Jelasnya, Bung Karno hidup dalam suasana zaman pergerakan melawan kolonialis, dan sebagai tokoh sentral dalam pergerakan kaum nasionalis yang sedang mengobarkan api semangat nasionalismenya, meskipun dalam kondisi fisik terkurung – jiwa – semangat tak terbendung.
Buah tulisannya sangat sarat dengan amanat – pesan moral perjuangan yang disampaikan kepada masyarakat – bangsa Indonesia ditengah pergolakan hidup dari alam penjajahan menuju alam kemerdekaan. Pesan moral tentang arti pentingnya sebuah kesadaran sosial, berbudaya, politik, jatidiri – prinsip hidup bermartabat, berjiwa satria, kegotong-royongan – solidaritas - kebersamaan lintas kultural, kesadaran berketuhanan, hampir semua tercakup didalam isi kandungan kumpulan naskahnya.
Nilai-nilai moral – etika, musyawarah, serta kepemimpinan nampak menonjol pada beberapa naskah karya Bung Karno, terlebih pada naskah Chungking Djakarta. Nilai-nilai tersebut nampaknya seperti menjadi salah satu kecenderungan dalam tradisi penulisan naskah – seperti yang terdapat juga pada kandungan naskah Tantu Panggelaran (Depdikbud : 1999), maupun Babat Lombok I (Depdikbud : 1999).
Pesan – amanat Bung Karno sebagai seorang nasionalis - patriotis yang tulen cukup jelas pada isi kandungan naskah Chungking Djakarta. Dalam naskah ini, Bung Karno mengingatkan bahwa setiap langkah perjuangan tentu saja banyak rintangannya. Dan rintangan terberat yang sering menghadangnya adalah sebuah pengkhianatan dalam seperjuangan. Atau lebih tegasnya lagi “musuh dalam selimut”. Namun pada akhirnya kebenaran selalu membuahkan kemenangan.
Tokoh Tjen Djit Tjioe dan Zakir Djohan dalam naskah Chungking Djakarta menggambarkan karakter dua orang pejuang yang gigih, ulet dalam mengemban misi perjuangannya dengan tulus, serta menjunjung semangat moralitas yang tinggi. Disisi lain, kedua tokoh ini menggambarkan solidaritas – kebersamaan lintas kultural. Konsep – wawasan nasionalisme – wawasan kebangsaan yang ingin dibangun oleh Bung Karno bukanlah konsep nasionalisme – kebangsaan yang sempit (chauvinistis). Nampaknya terbaca jelas melalui kedua tokoh Tjen dan Zakir yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda namun bersatu dalam semangat kesadaran nasionalisme – nasionalisme bangsa Asia melawan bangsa kolonial. Disamping itu, apa yang pernah dicita-citakan oleh Bung Karno dalam konsep pembangunan politiknya yang disebut dengan istilah – “membangun poros Jakarta – Peking” bisa jadi naskah Chungking Djakarta ini bagian dari perjalanan sebuah proses penuangan konsep dalam bentuk lain yang disamarkan. Sebaliknya, tokoh Jo Ho Sioe dan tokoh Abu menggambarkan karakter – sifat antagonistis, pengkhianatan terhadap bangsanya, haus kekuasaan – kebendaan, keserakahan – kebathilan, yang berujung pada kebinasaan. Sementara tokoh Miss Liliwoe mewakili sifat –watak patriotik yang tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan. Demikian juga dengan gambaran tokoh Saminah dalam naskah Chungking Djakarta ini. Saminah digambarkan sebagai seorang yang teguh mempertahankan prinsip – jatidiri kebudayaannya – tak terpengaruh oleh silaunya dunia yang serba kebendaan. Pesan moral yang cukup mendalam tentang nafsu, keserakahan, kekuasaan yang tidak selamanya membawa kebahagiaan dalam kehidupan. Bahkan, sebaliknya membuat orang lupa diri yang berujung pada kebinasaan – seperti yang dicontohkan pada tokoh Abu dalam Chungking Djakarta.
Dan pada ujung ceritanya, Bung Karno memberikan pesan moral, bahwa pemberian penghargaan terhadap para pahlawan – pejuang sangat penting guna mengingatkan atas jasa-jasa perjuangan dalam membela tanah airnya. Seperti yang dicontohkan dalam akhir cerita ini, dimana Tjen Djit Tjioe dan Zakir Djohan mendapat tanda jasa perhargaan sebagai pejuang.
Sementara pada isi kandungan naskah Koetkoetbi yang ada kecenderungan kemiripan pola dengan isi kandungan dalam naskah Dr. Sjaitan, lebih banyak menonjolkan unsur magis – mistis – penuh horor sebagaimana kisah dalam cerita film Frankenstein. Dan ending dari cerita Koetkoetbi ini cukup menarik – seperti akhir cerita dalam judul sinetron “misteri Illahi” – atau “Dendam Siluman Buaya”. Kekuatan Allah - Sang Pencipta – Penguasa isi jagad raya menjadi dasar – landasan tingkat kesadaran religius - keimanan si penulis naskah yang cukup kuat.
Naskah Koetkoetbi ini ceritanya juga hampir mirip dengan cerita rekaan Jaelangkung – menggambarkan seseorang - manusia yang mencoba bermain-main dengan menghidupkan jasad orang yang sudah mati ratusan ribu tahun – yang kemudian membawa malapetaka baginya. Pesan moral yang disampaikan dalam Koetkoetbi ini selain berkaitan dengan pelestarian benda-benda cagar budaya, juga bahayanya – resikonya bermain-main dengan dunia mistis tanpa landasan kesadaran keimanan yang kuat. Dan akhirnya, hanyalah kekuatan Illahi lah yang harus ditempatkan diatas segalanya. Tiada tempat pertolongan selain melalui Allah.
Selanjutnya, dalam naskah Rainbow, selain membawa pesan moral dalam membangun semangat patriotik - berjiwa ksatria, lebih banyak memberikan pengajaran arti pentingnya sebuah kesadaran sejarah sebagai entitas - bagian yang tak terpisahkan dalam kebudayaan masyarakatnya. Pesan moral Bung Karno tentang arti pentingnya kesadaran sejarah, diperjelas pada selebaran pamlet sebelum pementasan Rainbow. Bahkan dalam pamlet tersebut diterangkan tahun-tahun peristiwa sejarah Bengkulu.
Bung Karno sangat sadar, bahwa masyarakat – bangsa Indonesia perlu mempelajari sejarah agar memiliki masa depan. Tampaknya sejalan dengan apa yang pernah dilontarkan oleh Michael Sturner, bahwa “Di negeri yang tanpa sejarah, masa depan masyarakatnya akan dikuasai oleh mereka yang menentukan isi ingatan, serta yang merumuskan konsep dan menafsirkan masa lampau” (Taufik Abdullah, 1995:35). Sejarawan Cicero pun pernah yang mengatakan, bahwa barang siapa tak kenal sejarahnya, akan tetap menjadi anak kecil” (Sartono Kartodirdjo, 1992:23). Dan jauh sebelumnya, orang Yunani Kuno pun sudah memperkenalkan apa yang disebut dengan “Historia Vitae Magistra” (sejarah adalah guru kehidupan). Bukankah Bung Karno juga sempat mengingatkan kita tentang “Jasmerah” (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah).

Sebelum Memimpin Monte Carlo
Sebagai seorang interniran (orang buangan politik) yang baru saja menginjakkan kakinya di bumi “Rafflesia” Bengkulu, tidak memungkinkan pada tahun pertama (1938) Bung Karno menerjunkan diri dalam kelompok seni musik orkestra Monte Carlo. Dan itu bukanlah tujuan utama Bung Karno untuk menerjunkan diri sebagai seorang “seniman” – melainkan semata sebagai media untuk menumbuhkankembangkan sebuah kesadaran nasionalisme kepada masyarakat yang sedang tertindas dalam belenggu kolonial.
Pada tahun pertama, Bung Karno lebih banyak disibukkan oleh kegiatan yang bersifat sosial - kemasyarakatan. Bung Karno memerlukan sebuah proses sosialisasi dengan lingkungan barunya untuk memahami tipologi serta kultur masyarakat Bengkulu. Dan ternyata, dalam waktu yang relatif singkat Bung Karno mampu menjalin komunikasi – interaksi sosial dengan beberapa tokoh masyarakat kota Bengkulu – terutama dari kalangan terpelajar, cerdik-pandai, guru, pegawai, usahawan, termasuk juga tokoh-tokoh penting Muhammadiyah – maupun Taman Siswa.
Di mata para tokoh pergerakan Bengkulu, nama Bung Karno sebagai tokoh pejuang sentral – nasional, memang sudah tidak asing lagi, karena mereka sudah sering mendengar, dan membaca tulisan-tulisan Bung Karno lewat media. Seperti yang diceritakan oleh M. Ali Hanafiah, salah seorang pendiri Taman Siswa Bengkulu, yang mendapat kehormatan kunjungan pertama Bung Karno ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Bengkulu (M. Ali Hanafiah, 2003: 25). Bahkan kemudian, pada suatu hari, Bung Karno dikunjungi oleh Hassan Din, Ketua Muhammadiyah setempat menjadi guru sekolah Muhammadiyah (Cindy Adams, 1966:188). Kunjungan Hassan Din bersama istri dan anaknya Fatima (Fatmawati), serta adik Hassan Din ke rumah Bung Karno dikisahkan oleh Fatmawati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno (Fatmawati, 1985:32).
Sejak bergabung dengan para tokoh perkumpulan seperti Muhammadiyah dan Taman Siswa setempat, Bung Karno semakin banyak pergaulan – sering terjun ke lapangan – keliling kota Bengkulu. Bung Karno semakin aktif dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Dalam waktu yang relatif singkat, pengaruh Bung Karno di Bengkulu semakin besar, meski aktivitas Bung Karno Karno sepak terjang – gerak-gerik Bung Karno terus menerus diawasi oleh pemerintah Belanda melalui polisi intel.
Di Bengkulu, Bung Karno juga mempunyai banyak kawan dari kalangan orang Tionghoa, termasuk orang-orang Tionghoa yang bergerak dalam usaha perdagangan. Beberapa orang Tionghoa yang sering bergaul dan menjadi sahabat Bung Karno antara lain: Oey Tjeng Hien alias H.A. Abdoel Karim, Lie Tjoen Liem, Liem Bwe Seng, serta Tjan pemilik percetakan.
Rupanya Oey Tjeng Hien adalah kawan lamanya Bung Karno ketika sama-sama dengan duduk dalam Persyarikatan Islam – Persis di Bandung. Hien yang semula membuka usahanya di daerah Bintuhan (Bengkulu Selatan), lalu ditarik oleh Bung Karno untuk pindah ke kota Bengkulu. Hien akhirnya menuruti Bung Karno dan kemudian membuka usaha meubelnya di Suka Merindu bersama dengan Bung Karno sebagai arsiteknya. Di tempat itulah terpampang tulisan : Peroesahaan Meubel Soeka Merindoe dibawah pimpinan Ir. Soekarno. Hien bisa menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua Muhammadiyah di Bengkulu itu juga atas desakan Bung Karno (Lambert Giebels, 2001:219).
Sedangkan hubungan Bung Karno dengan Lie Tjoen Liem yang semula hanya sebatas hubungan bisnis ringan yang saling menguntungkan, tetapi kemudian berlanjut seperti sahabat dekat. Menurut penuturan Bu Lidia alias Lie Khioek Sien, salah satu anak perempuannya Lie Tjoen Liem, bahwa Bung Karno sering juga datang ke tokonya yang sekaligus rumahnya – kadang juga makan di rumahnya. Bahkan Bung Karno pernah ngebon sebuah arloji seharga f 6 di toko papanya. Sayang, surat tanda bonnya dibawa oleh adiknya yang bernama Lie Kim Nam – dan sekarang adiknya sudah meninggal dunia.
Lie Tjoen Liem, asal Tiongkok yang semula merantau ke Bantam dan berusaha di bidang leveransir beras, makanan, bahan bangunan, serta obat-obatan. Kemudian setelah ke Bengkulu, membuka Toko yang diberi nama Sin Tjie Hoo – nama papanya asli orang Tiongkok (Cina totok), tetapi orang kemudian lebih mengenal toko itu dengan nama pemiliknya, yaitu Liem – maka menjadi Toko Liem yang menjual berbagai macam makanan dan minuman, serta barang-barang besi bangunan “ Provi’sien en Dranken, Ijzerwaren. ”
M.Ali Hanafiah sendiri dalam catatannya juga menceritakan, bahwa Bung Karno dan M.Ali Hanafiah sebelum melakukan perjalanan keliling kota, mampir dulu ke Toko Liem – kemudian Bung Karno mengambil makanan dua batang chocolate Van Houten atau Kwatta yang kemudian dibagi berdua. Bung Karno mengambil begitu saja tanpa membayar – rupanya ada hubungan bisnis kecil-kecilan, yaitu Bung Karno dengan menggunakan nama samaran sering menulis artikel pada lembar iklan tokonya (M. Ali Hanafiah, 2003:38).
Orang Tionghoa yang satunya lagi yang berhubungan dengan Bung Karno adalah Liem Bwe Seng, pemilik rumah di jalan Anggut Atas yang disewa oleh Bung Karno sebagai tempat tinggal selama di Bengkulu (1938-1942). Sayang tidak banyak keterangan seberapa jauh hubungan Bung Karno dengan pemilik rumah yang telah terjalin selama empat tahun.
Memang, kebanyakan yang membuka usaha bisnis berbagai macam perdagangan baik di bidang percetakan (drukkerij), makanan dan minuman, barang-barang bangunan (besi, seng, paku, semen, cat, dan lain-lain), dan lain-lain adalah orang-orang Tionghoa, termasuk pemilik Toko En yang bergerak dibidang jasa photograf. Sudah barang tentu Bung Karno sering berhubungan dengan mereka yang banyak menyediakan berbagai barang yang diperlukan dalam pertunjukan Monte Carlo.

Pemimpin Monte Carlo
Tak diketahui secara pasti kapan tepatnya, Bung Karno menjadi pemimpin Monte Carlo. Tetapi, paling tidak pada bulan ketika Bung Karno sudah mulai menulis naskah Dr. Sjaitan. Pada naskah Dr. Sjaitan tercantum kolofonnya, yaitu tanggal 24 Desember 1938. Artinya, Bung Karno terlibat secara aktif dalam sandiwara toneel Monte Carlo – bisa jadi sudah menjadi pucuk pimpinannya.
Pendek kata, Bung Karno sudah mempunyai pengaruh yang besar dikalangan para seniman, khususnya kelompok musik orkestra Monte Carlo yang rata-rata para anggotanya masih golongan muda-muda.
Bung Karno merasa perlu mendekati para anak muda yang tergabung dalam kelompok musik orkestra Monte Carlo itu. Bung Karno ingin memberikan pelajaran – gemblengan - semangat kepada para pemuda untuk menumbuhkan serta membangkitkan kecintaannya kepada tanah air, semangat patriotik, sebagaimana semangat dan kobaran jiwa nasionalisme Bung Karno yang tak pernah padam. Meski segala gerak-gerik – sepak terjang Bung Karno tak pernah lepas dari pengawasan Politieke Inlichtingen Dienst (PID) – semacam polisi intel yang diberi tugas oleh pemerintah Belanda untuk mengawasi apa saja kegiatan Bung Karno di Bengkulu.
Setelah menjadi pimpinan Monte Carlo, Bung Karno segera melakukan formulasi baru dalam seni pertunjukannya. Monte Carlo yang semula hanya bergerak di bidang seni pertunjukan musik orkestra saja, oleh Bung Karno kemudian difusikan – dilebur dalam bentuk sebuah seni pertunjukan sandiwara toneel.
Tetapi belakangan, Bung Karno juga merekruit para anak muda – pelajar yang mempunyai minat di bidang olah raga. Oleh karenanya, Bung Karno kemudian membentuk kelompok Monte Carlo yang bergerak di bidang olah raga seperti Badminton (bulu tangkis) , dan sepak bola - yang juga sedang ngetrend – populair seiring dengan pertumbuhan budaya masyarakat perkotaan Bengkulu pada waktu itu.
Dalam bidang olah raga sepak bola, mereka mempunyai kelompok tersendiri yang diberi nama “ Elftal Monte Carlo” ( kesebelasan Monte Carlo). Bung Karno sendiri sekali-kali pernah juga bermain bulu tangkis. Bahkan pernah mengajari Fatmawati bermain bulu tangkis (Cindy Adams, 1966:188).
Bagi Bung Karno yang sudah mempunyai modal pengalaman mendirikan grup sandiwara toneel Kelimutu ketika di Endeh (1934-1938) tentunya tidak terlalu sulit untuk memimpin sandiwara toneel Monte Carlo ini. Apalagi, di Bengkulu sudah ada fasilitas gedung pertunjukan seperti Royal Cinema. Disamping modal pengalaman dalam hal sandiwara, Bung Karno juga mempunyai banyak referensi kepustakaan tentang berbagai macam cabang ilmu pengetahuan – sehingga wawasan pengetahuan umumnya amat luar biasa. Pengalamannya melukis, menulis naskah, membuat tipuan suara-suara angin, guntur, hujan, hingga tipuan membangkitkan mayat hidup, ketika di Endeh menjadi modal dasar yang kuat untuk menggarap pertunjukan Monte Carlo.
Pada umumnya, perkumpulan sejenis sandiwara ini, seorang pimpinan seringkali merangkap berbagai peran sekaligus – baik sebagai penulis naskah, sutradara, produser, hingga manajer pemasarannya. Demikian, peran Bung Karno dalam perkumpulan sandiwara Kelimutu yang tidak sekedar penulis naskah, mencari dan memilih pemain, membuat layar gambar – lukis, tetapi juga berperan sebagai sutradara, manajer pemasaran, dan sekaligus produsernya. Kecuali pada naskah “Tahoen 1945”, Bung Karno menawarkan peran sutradara kepada seorang warga Filipina yang bernama Nathan yang dikenalnya di Endeh (Lambert Giebels, 2001:200).
Sebagai pemimpin Monte Carlo, Bung Karno juga tidak sekedar berperan sebagai menulis naskah saja, tetapi juga sutradara, manajer pemasaran, dan sekaligus produsernya. Dan disamping itu juga masih melakukan berbagai macam pekerjaan seperti mencari – memilih para aktor – pelaku, membuat – setting panggung, merancang – melukis layar, dan lain-lain.
Barangkali ini salah satu hal yang membedakan antara ciri khas kelompok sandiwara jenis toneel - dengan kelompok teater modern. Pada kelompok teater modern, ada spesifikasi – peran khusus ditangani oleh masing-masing orang. Sementara, pada kelompok jenis sandiwara toneel, seorang pimpinan – produser, biasa merangkap sebagai penulis skrip, sutradara, serta menjadi manajer pemasaran dan keuangan.
Tetapi ada hal menarik tentang perbedaan yang cukup menonjol ketika Bung Karno memimpin sandiwara Kelimutu dengan ketika memimpin sandiwara Monte Carlo, terutama dalam penerapan naskah. Ketika di Endeh, Bung Karno menulis naskah-naskahnya hanya garis besarnya saja, kemudian disampaikan kepada kelompok pemain, lalu menetapkan siapa memegang peran apa – dan selanjutnya mereka disuruh menghafalkan dengan terus mengulang apa yang dikatakan oleh Bung Karno, serta menirukan contoh yang diberikannya (Lambert Giebels, 2001:200). Tetapi, ketika di Bengkulu, Bung Karno menyiapkan naskah secara lengkap seperti yang kita lihat pada teks naskah Rainbow, Chungking Djakarta, dan Koetkoetbi.
Meskipun Bung Karno dalam Monte Carlo menulis naskah secara lengkap, tetapi dalam pelaksanaannya tak jauh berbeda dengan ketika memimpin Kelimutu. Bung Karno tetap mendiktekan naskahnya kepada para pemain yang sudah dipilihnya dan disuruh menghafal terus menerus serta menirukan perkataan serta gerakan yang diberikannya.
Tampaknya, gaya sandiwara Monte Carlo pimpinan Bung Karno ini agak berbeda dengan gaya kelompok sandiwara komersial seperti Miss Riboet, Oreon, Dardanella, Komedi Bangsawan, Komedi Stamboel, dan sejenisnya, seperti yang digambarkan oleh Bakdi Soemanto sebagai kelompok yang mempertahankan jagad pikir kebudayaan oral. – karena cara bermain lebih loose, dan bebas dari segala patokan (Bakdi, 2001:266). Termasuk juga jenis sandiwara Ludrug gaya stamboel Jawi – sebagai kelanjutan dari bentuk Ludrug Besutan sebagaimana catatan Ki Soemadji A, yang pernah melacak sejarah kesenian Ludrug asal Jawa Timur (J.J. Ras, 1985: 311-318).
Juga ada perbedaan dalam hal gaya monolog. Dalam penulisan naskah karya Bung Karno, tidak terdapat monolog yang memberi peluang – ruang gerak pada pemain – aktor untuk berkominikasi – menyapa dengan audien – penontonnya seperti yang dilakukan gaya monolog dalam Ludrug, maupun Lenong Betawi. Gaya monolog dalam naskah – lakon Lenong Betawi diucapkan pada permulaan adegan dengan tujuan memperkenalkan tokoh yang akan diperankan berikut situasi lingkungannya (Ninuk Kleden-Probonegoro, 1996:42).
Demikian juga dalam hal tema – lakon yang dipentaskan. Dalam Monte Carlo, Bung Karno mencoba menggabungkan – memasukkan unsur - konsep drama – teater modern dengan tetap menggunakan setting layar berdasarkan latar belakang tempat dan peristiwa kejadiannya. Berbeda dengan kosep drama- teater modern yang menggunakan setting tak sekedar latar belakang, tetapi juga unsur yang membangun perkembangan sruktur dramatik lakon dari awal hingga akhir (Bakdi, 2001:268). Sementara, pada kelompoknya Miss Riboet yang bertahan hingga lima belas tahunan – dan Dardanella yang mampu bertahan hingga dua dekade, lebih mengedepankan gaya dalam bentuk nyanyian – lagu-lagu sindiran – sinis – dan penuh simbolik ( Mohamad Nazri Ahmad, 2000:33).
Bung Karno dalam menggarap setting toneel – panggung, disamping menggunakan – menyiapkan berbagai macam layar gambar dan properti lainnya sesuai dengan latar belakang tempat dan peristiwa, juga menambahkan trik-trik – dengan teknik yang menyerupai peristiwa kejadiannya. Seperti teknik menggunakan lembaran zink (seng) – blik (kaleng), pasir, kerikil –batu-batuan, bubuk – zat peledak, dan lain-lain untuk menirukan suara gemuruh angin, hujan, petir, halilintar dan lain-lain. Bung Karno juga menggunakan peralatan electric dengan kabel-kabel stroom.
Dalam hal penulisan naskah, Bung Karno rupanya tidak mau sembarangan – asal-asalan saja. Bung Karno berusaha mempelajari berbagai macam cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah, dan sastra – bahasa. Wawasan pengetahuan - referensi Bung Karno yang sangat luas itu juga menjadi bagian dari yang tak terpisahkan dalam mengimplementasikan proses gagasan-gagasan - ide-ide kreatifnya.
Tanpa referensi, serta wawasan pengetahuan yang luas mungkin sulit bagi seorang Bung Karno dalam menciptakan ide-ide kreatif. Bagaimana Bung Karno mampu mengadaptasi – menginterpretasi film Franskenstein yang amat populer pada saat itu menjadi naskah Dr. Sjaitan – dan Koetkoetbi tanpa dukungan faktor empiris yang luas.
Demikian juga dengan naskah Rainbow (Poetri Kentjana Boelan). Tanpa wawasan pengetahuan sejarah, khususnya sejarah Bengkulu, sulitlah bagi Bung Karno mampu menuangkan cerita epik yang berbau historis dalam naskah tersebut. Mungkin saja, Bung Karno juga membaca Tambo Bangkahoeloe ketika akan menulis naskah Rainbow. Disamping itu, Bung Karno amat cerdas menggiring alur cerita berbau roman sejarah yang penuh semangat patriotik – meskipun dalam cerita tokoh sentral yang romantis berakhir dengan tragis – “romantis membawa tragis” . Tetapi, bisa jadi, naskah Rainbow ini merupakan salah satu dari sekian naskah karya Bung Karno yang dapat dikategorisasikan kedalam karya sastra sejarah – atau tepatnya roman sejarah.
Dalam hal penyutradaraan, secara teoretis, seorang sutradara harus memiliki modal pengalaman, pengetahuan, berbakat pemimpin atau guru, kemampuan meyakinkan para aktor, serta pengetahuan psikologi. Demikian menurut catatan Kalam Hamidi, yang juga seorang aktor, penulis naskah, dan sekaligus sutradara drama dan teater (Kalam Hamidi, 2003: 40). Apa yang menjadi catatan tersebut, itu sudah dilakukan oleh seorang Bung Karno ketika menjadi sutradara dalam pementasan sandiwara Monte Carlo.
Sebagai sutradara, Bung Karno yang punya waktu luang banyak tentu saja akan melakukan pekerjaannya dengan serius. Dengan kata lain, Bung Karno jelas memberikan latihan – gemblengan terhadap para pemainnya. Dan tentu saja, sebelumnya Bung Karno telah melakukan seleksi para pemainnya untuk menentukan peran yang dengan tokohnya. Selanjutnya Bung Karno menyiapkan jadwal dan tempat latihannya, gladi resik, hingga persiapan pementasannya.
Bung Karno membutuhkan waktu latihan dua hingga tiga mingguan untuk melatih para pemainnya. Waktu latihan biasanya pada sore hari dan kadang malam hari. Tempat yang paling sering digunakan Bung Karno untuk melatih serta menggembleng para pemainnya adalah di rumah Manaf Sofiano, Kampoeng Djawa. Tetapi kadang-kadang Bung Karno menggunakan tempat latihan di rumah Demang Karim yang terletak di Berkas. Sedang untuk persiapan lakon Si Ketjil, Bung Karno melatihnya di rumahnya sendiri.
Bung Karno juga sangat teliti dalam urusan yang kecil-kecil, termasuk memeriksa kenyamanan dan keamanan lantai panggung yang akan digunakan oleh para pemain – seperti memeriksa kalau ada paku-paku yang membahayakan. Demikian cerita dari Pak Rustam Effendi meneruskan cerita dari ayahnya, Bachtiar Karim.
Kesuksesan pertunjukan Monte Carlo ternyata tidak hanya berimbas pada kesejahteran bagi para pemainnya saja, tetapi juga berimbas pada yang lainnya. Karena sebagian dari hasil pertunjukannya ternyata diamalkan untuk kepentingan sosial.
Sebagai pemimpin sandiwara toneel Monte Carlo yang sudah berpengalaman, Bung Karno menyadari, bahwa musik memegang peranan yang sangat penting. Tanpa illustrasi musik, pertunjukan seni jenis apapun takkan pernah berhasil – sukses. Oleh karenanya, dalam hal penataan musik, Bung Karno mempercayakan penuh kepada Manaf Sofiano yang memang piawai dalam memainkan alat musik piano maupun saxofon. Bahkan Manaf Sofiano dipercaya oleh Bung Karno sebagai bendaharanya.
Disamping itu, rupanya, Manaf Sofiano tidak hanya memegang jabatan sebagai bendahara dan penata musik saja, tetapi juga diberi peran utama oleh Bung Karno. Bahkan diantara para pemain Monte Carlo yang dianggap terbaik oleh Bung Karno adalah Manaf Sofiano. Dan Bung Karno dengan jujur telah memujinya sebagai seorang primadonna dalam pertunjukan Monte Carlo (Cindy Adams, 1966:206).
Kepiawaian Bung Karno sebagai produser – pimpinan sandiwara Monte Carlo boleh dibilang cukup mengagumkan – dan tentu saja membutuhkan pekerjaan yang rumit. Mulai dari merancang - menulis naskah - mencari pemain - menyeleksi pemain - membagi peran - merancang tonil - menyiapkan kain - melukis layar – menyiapkan properti - menyiapkan spanduk – penyebaran pamlet – percetakan - menyiapkan promosi dengan kendaraan keliling - menyiapkan tempat pentas - menyiapkan dana produksi – menyiapkan tiket – karcis - mengundang penonton - membuat jadual latihan - gladi resik hingga jadual pementasan, dan lain-lain – semua berada dibawah tanggungjawab dan pengawasan Bung Karno.
Di Bengkulu, Inggit juga melakukan pekerjaan yang sam ketika di Endeh, yaitu sebagai penata rias. Bung Karno memilih Hanafi dan M. Zahari Thanie, serta Sjoufi, untuk memeran tokoh-tokoh perempuan dalam lakon-lakon pertunjukannya. Belakangan nama Hanafi ditambah dua huruf setelah bergabung dan menjadi orang dekat Bung Karno, sehingga namanya menjadi A.M. Hanafi – A.M adalah kepanjangan dari Anak Marhen. Bahkan setelah Bung Karno menjadi Presiden RI, A.M. Hanafi pun mendapat posisi yang tinggi, yaitu diangkat sebagai Duta Besar untuk Kuba. Resminya, A.M. Hanafi dilantik sebagai duta besar berkuasa penuh R.I untuk Republik Kuba di Havana pada tanggal 19 Desember 1963 (A.M. Hanafi, 1996: 22).
Sebagai sutradara, Bung Karno yang punya waktu luang banyak tentu saja akan melakukan pekerjaannya dengan serius. Dengan kata lain, Bung Karno jelas memberikan latihan – gemblengan terhadap para pemainnya. Dan tentu saja, sebelumnya Bung Karno telah melakukan seleksi para pemainnya untuk menentukan peran yang dengan tokohnya. Selanjutnya Bung Karno menyiapkan jadwal dan tempat latihannya, gladi resik, hingga persiapan pementasannya. Menurut narasumber, Bung Karno membutuhkan waktu latihan dua hingga tiga mingguan. Waktu latihan biasanya pada sore hari dan kadang malam hari.
Jauh hari sebelum pertunjukan, Bung Karno sudah menyebarkan pamflet yang promosinya sangat memikat para pembacanya. Isi pamfletnya selain mengundang rasa penasaran, juga memberikan informasi menarik serta menyertakan harga karcis – tiket tanda masuk.
Kemudian pada sore hari menjelang pertunjukannya, Bung Karno mengadakan programa keliling, yaitu mengarak para pemain yang akan tampil nanti malam - berkeliling kota Bengkulu dengan menyewa mobil.
Disamping, menyewa mobil untuk mengarak para pemain, Bung Karno juga menyewa gedung tempat pertunjukannya, yaitu gedung bioskop Royal Cinema dengan cara mengangsur (menyicil).
Sebagai seorang pemimpin yang memiliki proyeksi – pandangan jauh kedepan, Bung Karno juga amat menyadari arti pentingnya sebuah dokumen – arsip sebagai saksi bisu yang suatu saat akan bisa berbicara banyak tentang masa lampaunya. Oleh karenanya, Bung Karno menyimpan berbagai dokumen - arsip, terutama yang berkaitan dengan sandiwara toneel Monte Carlo. Beberapa dokumen berupa gambar – photo yang tersisa sebagian masih dapat dilihat di Museum – Rumah Kediaman Bung Karno yang terletak di Anggut Atas Kota Bengkulu.
Pada acara pertunjukan, Bung Karno tidak menempatkan diri dibelakang layar, seperti halnya yang biasa dilakukan oleh para sutradara pada pertunjukan sandiwara Kethoprak maupun Ludrug. Sebaliknya, Bung Karno justru duduk di kursi barisan depan sejajar dengan para pembesar Belanda, elite pribumi, pengusaha – saudagar - orang-orang Tionghoa yang biasanya mengambil karcis loge de luxe (tempat duduk VIP).

PANGGUNG BANGSAWAN BENGKULU


PANGGUNG BANGSAWAN BENGKULU

By : Agus Setiyanto

Konon, seni pertunjukan – teater rakyat yang disebut “Panggung Bangsawan” ini berasal dari Wayang Parsi (Persia- Iran) yang dibawa oleh orang-orang Majusi ke Pulau Penang tahun 1870 an. Wayang Parsi ini kemudian diadopsi oleh Abu Muhammad Adnan alias Mamak Phusi yang memperkenalkan sandiwara gaya komedi stambulnya dengan nama “Phusi Indra Bangsawan of Penang”. Kelompok kesenian ini kemudian lebih populer dengan sebutan “Wayang Bangsawan” atau “Indra Bangsawan”.

Teater rakyat Bangsawan ini diperkirakan masuk ke Pulau Penyengat (Tanjung Pinang – Riau) tahun 1906 an. Dan selanjutnya lebih berkembang di wilayah Daik – Lingga dan Dabo – Singkep (Riau) dengan Komedi Bangsawan atau Panggung Bangsawan. Panggung Bangsawan ini juga menyebar ke berbagai wilayah dengan sebutan – nama (istilah) yang berbeda seperti “Bamanda” atau “Mamanda” (Kalimantan Selatan); “Bakda Muluk” atau Dul Muluk” dan “Bangsawan”” (Sumatera Selatan); Sinlirik (Sulawesi Selatan); “Tonil Sambrah” (Betawi); dan sebagainya.

Di Bengkulu sendiri, kononnya di daerah Padang Ulang Tanding (Kabupaten Lebong) pernah berkembang sebuah seni pertunjukan – teater rakyat yang juga disebut “Komedi Bangsawan” atau “Bangsawan” saja. Persisnya tidak diketahui apakah ada pengaruh dari “Bangsawan” Sumatera Selatan atau “Komedi Bangsawan” Riau.

Bung Karno semasa pengasingannya di Bengkulu (1938-1942) juga sempat, mempopulerkan sandiwara tonil yang diberi nama “Monte Carlo”. Beberapa karyanya yang sempat meladak dan menjadi “box office” (laris manis) yaitu Rainbow (Poetrie Kentjana Boelan), dan Dokter Pengiblis Sjetan. Tetapi, sebelumnya (tahun 1937), di Bengkulu sudah ada pertunjukan tonil. Sayangnya, tulisan pada photo yang saya temukan tidak bisa menjelaskan lebih jauh – karena hanya terbaca tulisan “Pertoendjoekan Tooneel Redde Krus Tiongkok 8 - 9 – 37.

Tetapi munculnya sandiwara tonil Panggung Bangsawan Bengkulu yang dipopulerkan oleh Komunitas Seniman Bengkulu (KSB) sejak tahun 2000 tidak sekedar menambah deret panjang sejarah perkembangan teater rakyat di Indonesia. Boleh jadi, atau bahkan lebih tepatnya sebagai pertanda - upaya gerakan revitalisasi budaya lokal – local wisdom (kearifan budaya). Seperti yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya “Rejung Pasirah” di Sumatera Selatan; Ketoprak Humor – Ketoprak Campursari - Ludruk Glamour (di layar kaca), dan sejenisnya.

Upaya revitalisasi seni pertunjukan Panggung Bangsawan juga telah dilakukan oleh masyarakat Melayu Riau - Lingga. Menurut hasil penelitian Sutamat Arybowo dalam desertasinya yang berjudul “PANGGUNG BANGSAWAN STUDI POLITIK KEBUDAYAAN DI DAERAH RIAU LINGGA: PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA” disebutkan, bahwa setelah Revitalisasi Budaya Melayu tahun 2004, pemahaman tentang alam budaya Melayu sudah mulai mencair. Identitas – jatidiri budaya Melayu tidak lagi berdasarkan pada konvensi religius tertentu, tetapi sudah mengarah pada pluralistik kultural.

Ditengah ancaman krisis kebudayaan, munculnya sandiwara tonil Panggung Bangsawan Bengkulu merupakan sebuah langkah strategis dalam upaya penguatan jatidiri – identitas produk budaya lokal. Ceritera-ceritera lokal seperti Putri Gading Cempaka, Ratu Samban, Raja Lelo, Putri Serindang Bulan, Putri Kencana Bulan (Rainbow) dikemas dengan gaya komedi stambul ternyata lebih menarik dari ceritera pakemnya. Dan lebih menariknya lagi, karena didukung oleh para pemain yang memiliki latar belakang pendidikan, pekerjaan, agama, serta suku bangsa yang berbeda. Bahkan tak jarang menghadirkan bintang tamu dari kalangan elite – politisi, akademisi, maupun petinggi (pejabat) daerah. Oleh karenanya tak mengherankan, jika setiap ada pertunjukan Panggung Bangsawan Bengkulu selalu dipenuhi oleh penonton. Sayangnya, Panggung Bangsawan Bengkulu hingga saat ini masih bergantung pada sponsorshipnya. Dan memang belum juga menjadikan sebagai andalan pekerjaan bagi para senimannya. Dengan kata lain, bermain di Panggung Bangsawan Bengkulu semata hiburan dan menambah teman pergaulan. Namun demikian, “added value”nya (nilai plusnya) masih tetap dipertahankan, yaitu sebagai sebuah gerakan kesadaran untuk lebih mencintai produk budaya lokal. Bukankah ini sebuah daya tarik wisata budaya di Bengkulu ? SEKIAN ! (salam buat kawan lama, Al Azhar di Riau)

==========================================================

CURICULUM VITAE

Agus Setiyanto, lahir di Kudus, 21 April 1958. rumah : Jl. Iskandar 22 Bengkulu. kantor : jl. Pembangunan no 11 Bengkulu, Tilp. 0736-22910 (fax). Sarjana Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro Semarang tahun 1984.Tahun 1987 diangkat menjadi dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu. Tahun 1992 kuliah di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Jurusan Humaniora, Program Studi Ilmu Sejarah dan lulus tahun 1996.

Karya seninya : (1) Sayembara Putri Gading Cempaka” (Ludrug Humor, dipentaskan oleh Pasdokarma UNIB, 20 Nopember 1999 di Taman Budaya Bengkulu); (2) “Misteri Bunga Rafflesia” (Gambus Humor, dipentaskan oleh Pasdokarma UNIB, 4 Maret 2000 di Taman Budaya); (3) “Soeksesi Toeankoe Moeko-Moeko” (dipentaskan di Auditorium UNIB, 29 April 2000); (4) “Katebelece” (dipentaskan oleh Pasdokarma UNIB, 25 Agustus 2000 di Taman Budaya Bengkulu); (5) “Putri Gading Cempaka” (dipentaskan oleh Ketoprak Humor dan ditayangkan di RCTI, 5 Agustus 2000); (6) “Ratu Samban” (Panggung Bangsawan, dipentaskan oleh Komunitas Seniman Bengkulu di lapangan Merdeka Bengkulu, 24 Oktober 2000, dengan bintang tamu ketoprak humor, yaitu: Timbul, Marwoto, dan Rina Rawit, juga disutradarainya); (7) “Raja Lelo” (dipentaskan oleh Komunitas Seniman Bengkulu, di lapangan Merdeka Bengkulu, 19 Nopember 2000, dan disutradarainya); (8) “Kelas Unggul” (dimainkan oleh Sanggar Anak-anak Klein’duimpje yang ditayangkan di TVRI SP Bengkulu, 14 April 2001). (9) Rainbow “Putri Kentjana Bulan”, dimainkan oleh Pasdokarma, 22 Juni 2002 di Taman Budaya Bengkulu. Ditempat yang sama ,Rainbow juga dipentaskan oleh Komunitas Seniman Bengkulu (KSB) pada tanggal 24 Mei 2003. dan di PRJ tanggal 13 Juni, serta di Universitas Trisakti tanggal 14 juni 2003. (10). “Jangan tinggalkan Aku” judul sinetron kerjasama KSB dengan BRDP (2003). (11) Dari Mata Turun Keranjang dipentaskan di Taman Budaya (2004). (12) sutradara Rainbow “Putri Kentjana Bulan dipentaskan di Taman Budaya (27 Juli 2007), (13) “Ratu Samban”ditampilkan di Mapolresta Bengkulu Utara, 27 Maret 2008, bintang tamu : Kapolres BU, dan Bupati Lebong. Pengalaman berorganisasi: Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Bengkulu; Wakil Ketua Bencoolen Society; Direktur Paguyuban Seni Dosen, Karyawan, dan Mahasiswa (PASDOKARMA) Universitas Bengkulu; Presiden Komunitas Seniman Bengkulu (KSB); Pencetus gagasan KSB Award, 28 Oktober 2002 di Taman Budaya Bengkulu; Bengkulen Award 2008. Beberapa bukunya :(1) Elite Pribumi Bengkulu (Penerbit Balai Pustaka, 2001).(2) Ibu Negara Dalam Kenangan “Fatmawati Dalam Dunia Kosmos Bengkulu”. (Jakarta, 2004 ).(3) Maharaja Disastra (Editor) penerbit Ombak Yogya, 2006.(4) Orang Orang Besar Bengkulu, Penerbit Ombak, Yogya 2006.(5) BUNG KARNO Maestro Monte Carlo (kumpulan naskah sandiwara Bung Karno), Penerbit Ombak, Yogya 2006.(6) PANGGUNG BANGSAWAN, Penerbit GitaNagari, Yogya 2006.

Saat ini dipercaya oleh Pemda Prop. Bengkulu sebagai Kepala Taman Budaya Bengkulu.

Agus Setiyanto

(Cp.081367729511)

IKAN IKAN

IKAN IKAN

Asslamu’alaikum, kami ucapkan

kepada Ibu Bapak , hadirin sekalian

Kami bermain harap didengarkan

salah dan khilaf mohon dimaafkan.

Awal mulo kami critokan, pasalnyo kami kaum nelayan

Setiok ari mencari ikan, menyongsong arus badai dan topan

Belayar kami ke tengah lautan, sauh diangkat layar dikembangkan

setelah sampai ditengah lautan, sauh diturun layar digulungkan.

setelah itu pancing dihamburkan, ditangkap oleh seekor ikan

ikan membenak tiada tertahan, dapatlah kami seekor ikan.

Ikan apakah ini gerangan warnanya hitam berkilau-kilauan

ikan tengiri dibilang orang, pulanglah kami ketanah daratan.

Sampai disini cerita kami, cerita nyata sudahlah pasti

salah dan kilaf mohon dimaafi, dilain waktu berjumpa lagi (kiriman dari Buyung Jago).

Demikian syair lagu ikan-ikan yang hanya bisa kita dengarkan dan kita saksikan tiap setahun sekali - tepatnya pada event Festival Tabot yang dilaksanakan setiap tanggal 1 s/d 10 bulan Muharram.

Syair tersebut menggambarkan sebuah potret budaya kaum nelayan yang kesehariannya sangat dekat dengan ikan-ikan serta bergumul dengan lautan. Syair lagu ikan-ikan ini memang tidak diketahui siapa penulisnya– alias anonim. Artinya, lagu-ikan-ikan ini merupakan ciri khas produk kebudayaan rakyat – khususnya masyarakat nelayan yang sifatnya komunal. Produk budaya yang bersifat komunal pada umumnya memang tidak menonjolkan unsur personalitas, tetapi lebih mementingkan pada nilai kebersamaan. Karena memang produk budaya komunal ini menjadi bagian terpenting dari sebuah kearifan kultur lokal – local wisdom.

Sayang sekali, seni pertunjukan tradisional Ikan-ikan yang biasa digelar pada malam hari dengan cara berkeliling (door to door) pada tiap tahun menjelang malam Tabot ini sudah tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, ketika digelar pada acara lomba Ikan-ikan, pesertanya pun sudah mulai berkurang – alias menyusut.

Salah satu penyebabnya, adalah bahwa masyarakat pendukung - pemilik kebudayaan itu sendiri cenderung sudah mulai bergeser dan berpaling pada produk-produk kesenian lainnya yang dianggap lebih menarik. Memang ini juga akibat dari benturan budaya yang kian mengglobal. Dan diperparah lagi, dengan adanya paradigma pembangunan yang seringkali menyingkirkan produk-produk kearifan lokal yang dianggap sudah usang dan ketinggalan zaman.

Lalu apa yang musti dilakukan agar produk budaya lokal ini mampu bangkit kembali dan memberi kontribusi positif bagi pembangunan khususnya pembangunan budaya wisata di Bengkulu. Langkah pertama harus dimulai dengan sebuah kesadaran budaya sebagai pijakan untuk melakukan gerakan sadar budaya – gerakan peduli budaya lokal. Gerakan peduli budaya lokal (GeLiyaL) harus mampu melakukan revitalisasi terhadap produk-produk budaya lokal yang semakin terkikis oleh derapnya paradigma pembangunan yang cenderung materialistis – kapitalistis.

Sebagai bahan referensi, kita bisa belajar dari atraksi seni pertunjukan rakyat dari Sumatera Barat (Padang) yang disebut “Randai” . Masyarakat pendukung kebudayaan – kesenian Randai ini ternyata mampu melakukan revitalisasi. Alhasil, atraksi Randai tersebut menjadi tontonan menarik bagi wisatawan tiap malam minggunya di tepi pantai. Dan di sepanjang jalan pinggir pantai tersebut berderet warung yang menyajikan berbagai menu makanan.

Pertanyaan untuk pekerjaan rumah (PR) kita, mampukah seni pertunjukan rakyat yang disebut Ikan-Ikan ini digelar setiap malam minggu di sebuah tempat yang strategis seperti di Tapak Padri, Benteng Marlborough, Pasar Baru Koto, atau di perkampungan nelayan seperti di Kampung Cina, Pasar Pantai, Pasar Berkas, Pasar Baru, Pasar Malabero, Pondok Besi, Lempuing, dan lain-lain.

Lebih arif lagi, jika gerakan peduli budaya lokal dimulai dari masyarakatnya sendiri – khususnya masyarakat pendukung seni pertunjukan Ikan-Ikan – khususnya lagi kelompok-kelompok yang terlibat dalam produksi kesenian Ikan-Ikan ini melakukan gerakan berupa program kegiatan untuk menggelar atraksinya secara rutin pada setiap malam minggunya. Syukur-syukur, sambil menggelar atraksi, para nelayan juga bisa menjual berbagai produk ikan hasil tangkapannya dalam berbagai kemasan. Dan ini bisa berkembang menjadi areal wisata kuliner khusus ikan (bakar, panggang, pepes, gulai, dan lain-lain). kedepan. Tentunya diperlukan penataan –pengaturan - manajemen yang baik. Artinya, musti melibatkan pihak- pihak yang terkait dalam bingkai koordinasi - kerjasama yang sinerjis, seperti pihak Dinas pariwisata, Dinas Perdagangan, perindustrian, Dinas Tata Kota, Biro Travel Hotel (Arsita, PHRI), komunitas senimannya, kaum nelayannya, para pedagangnya, dan seterusnya. Jika program ini berjalan lancer dan berhasil, tentunya akan berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, bisa jadi muncul kebijakan Pemkot untuk menggantikan patung Kuda yang terpampang di simpang lima, dengan patung seekor ikan khas Bengkulu – sebut saja ikan Selengek ! Bukankah Ikan Selengek ini sudah identik dengan kota Bengkulu ?

wallahu ‘alam bishowab !